Wednesday, January 13, 2016

Alexander Richie Felix Saputra (2)

Sepeda dan Koala-la.

Kalau boleh jujur, liburan saat itu adalah hal yang paling saya suka.

Saat kecil, entah kenapa, semua saudara-saudara saya mengasingkan saya. Ketika kami bermain, mereka akan menjadikan saya sebagai pilihan terakhir. Kalau butuh orang, barulah saya dipanggil. Oleh karena itu, diam-diam, saya kesepian.

Kehadiran Richie menjungkirbalikan hidup saya. Karena terbiasa diasingkan, dipanggil cuma kalau dibutuhkan, ketika ada yang mengajak saya untuk jadi temannya, saya jadi bingung. Apa yang harus saya lakukan? Gimana kalau saya melakukan kesalahan? Saya nggak mau lagi-lagi diabaikan.

Karena, rasanya sakit. Sungguh.

Jadi, ketika Richie ngajak saya main bareng, saya lebih banyak diam. Saya takut salah ngomong kemudian Richie pergi. Ketika Richie ngajak keluar, saya nggak akan nolak. Dan ketika dia nggak muncul, saya cuma bisa menunggu, nggak bisa maksa.

Sampai suatu hari, Richie tiba-tiba nanya "Kieren, kok kamu diem terus? Kamu nggak suka ya main sama aku?"

Saya kaget dan bingung. Tapi, saya takut Richie salah paham. Jadi, untuk pertama kalinya, saya menceritakan apa yang saya pikirkan ke orang lain.

Pada akhirnya, tanpa sadar saya nangis tersedu-sedu. Hahahaha

Dan Richie.... Lagi-lagi dia buat saya heran. Dia nggak berusaha ngapus airmata saya, kayak yang selama ini saya liat di televisi, dia cuma tersenyum kayak biasanya. Kemudian bilang, "Mulai sekarang, Kieren harus bilang apapun yang Kieren alamin! Oke?"

Esoknya, karena saya bingung, saya menuliskan rincian kegiatan saya dari bangun tidur sampai ke detail menu makanan saya. Dalam bentuk point-point.

Di deket taman belakang, Richie dengan setia ngedengerin apapun yang saya bacain. Berturut-turut selama seminggu.

Sejak saat itu, saya mulai terbiasa terbuka sama Richie. Saya terbiasa ketawa kenceng-kenceng ketika main sama Richie.
Saya merasa... Saya bisa jadi diri saya sendiri ketika sama Richie.

Saya bisa nangis, saya bisa marah, saya bisa cemberut, kesal, jengkel, ngambek, dan bertingkah egois.

Sampai suatu sore, kami sedang main sepeda bareng. Villa Richie terletak diujung gang, dengan posisi jalan yang agak miring.

Jadi, kami sepakat adu cepat. Siapa yang sampai ke bawah lebih dulu, dia pemenangnya. Untuk pertama kalinya, saya merasa saya nggak mau mengalah dengan gampangnya. Saya mau menang.

Saya kayuh sepeda saya sekencang-kencangnya, tanpa memperhatikan kalau biarpun gang kecil, tapi jalannya tetap mengandung batu kerikil, bahkan ada polisi tidur.

Dan karena sepeda roda tiga itu nggak punya rem, otomatis saya jatuh terpental. Lutut saya berdarah. Saya menangis karena panik.
Saya nggak pernah luka separah itu, dan saya takut saya akan mati kehabisan darah. Iya saya tau, kok, ini bodoh.

Jadi, saya lari ke Villa, meninggalkan sepeda saya di jalan, dan Richie yang kaget melihat kondisi saya.

Saat lagi teriak-teriak kesakitan ketika luka saya ditetesin pake obat cina yang perihnya bukan main, Richie dateng. Awalnya saya mau marah, kok sepedanya nggak dibawa? Kalau diambil orang gimana?

Tapi, kemudian dia menyerahkan kantung plastik, yang didalamnya ada 3bungkus permen kapas dengan merek Koala-la.

Saya terdiam. Kaget, bingung, tapi nggak bisa dipungkiri kalau saya senang.

Malamnya, Mamanya Richie datang dan minta maaf. Beliau pikir Richie yang buat saya jatuh. Saat itu, Richie diomelin. Dan, saya takut. Saya takut kalau kami nggak dibolehin main bareng lagi.

Jadi, saya dengan tololnya bilang "Nggak apa-apa, tante. Besok aku minta Mama beliin sepeda yang ada remnya. Lagian Richie udah beliin ini biar aku nggak sakit lagi", dan karena permen kapasnya masih ada 2 bungkus, yang satunya saya kasih ke Mamanya Richie. Biar Beliau nggak marah lagi.

Malam itu, Richie makan di bangunan Villa yang saya tempati. Dan, ketika pulang dia bilang

"Cepet sembuh, Koala-la"

No comments:

Post a Comment