Sejak
gue berusia 7 tahun, gue udah sadar kalau gue punya tingkat sarkasme diatas
rata-rata teman gue yang lain. Sejak kelas 2 SD, guru gue selalu mengajarkan
bahwa “Mencontek saat ulangan adalah perbuatan yang tercela”. Tapi,
gue yang saat itu ndableg malah protes dan bilang gini ke wali kelas gue, Bu Tres
“Orang
kan nyontek karena ada alasannya. Mereka terpaksa”. Endingnya? Gue di
ketawain sama temen-temen sekelas, dan gue di omelin guru.
Kalau
gue pikir-pikir sekarang, gue rasanya ketawa sendiri mengingat betapa jeniusnya
gue saat itu. Gue sendiri heran, kenapa gue tiba-tiba inget kejadian bersejarah
itu. Mungkin ini bukan kebetulan. Barangkali ini bukan kebetulan otak gue
memutar memori itu disaat gue mengingat tentang penyelenggaraan UNAS kemarin.
Barangkali, gue harusnya mengadukan hal ini ke Bu Tres. Karena apa yang akan
gue utarakan disini adalah realisasi dari ucapan nyeleneh gue saat itu.
Selama
3 hari kemarin, rasanya gue ditampar bolak-balik sama kenyataan penyelenggaran
UNAS.
Selama
ini, tiap kali UNAS digelar, seluruh elemen masyarakat tertarik ke dalam topik
perbincangan ini. Perdebatan tentang perlu-tidaknya UNAS diselenggarakan nggak
pernah absen dari obrolan ringan dan bahkan liputan berita di media massa.
Jangan lupakan tentang kecurangan dan bocoran soal.
Dari
tahun ke tahun, selalu ada laporan tentang kecurangan UNAS, bahkan bocoran soal
dan kunci jawaban. Tapi, tragisnya pemerintah tetap pasang senyum dan
berkomentar tentang “tahun ini persentase
kelulusan siswa meningkat dari tahun sebelumnya”, “rata-rata nasional tahun ini
mengalami kemajuan”, dan segala komat-kamit yang gue nggak pernah paham apa
maksudnya.
Dari
banyaknya jumlah angka-angka yang disebutkan oleh pemerintah tentang persentase
kelulusan, rata-rata tahun ini, SKL yang sama, seharusnya pemerintah
menyelipkan tentang “penyetaraan soal
dan jumlah kasus kebocoran soal ujian”
Jujur,
gue kecewa dengan dua hal ini.
MASALAH PERTAMA.
PENYETARAAN DAN BOBOT SOAL
Tahun
ini, angkatan 2013/2014 memiliki 4 paket soal dengan masing-masing 5 variasi
soal di tiap paketnya. Yang artinya sih sama aja, nggak ada satu pun soal yang
sama ditiap kelas. Atau mari katakanlah, sebenernya ini sama aja kami
mendapatkan 20 paket.
Dan
balik lagi tentang variasi soal. Gue masih bisa terima tentang variasi soal,
tapi yang gue permasalahkan ini adalah penyetaraan tingkat kesulitan. Tebak
kenapa gue marah. HAHAHA bener banget! Karena tahun ini, tingkat kesulitan soal
tidaklah setara. Guru gue sendiri yang bilang begitu. Ini jelas nggak adil.
Sebab,
temen gue yang lemah dalam pelajaran Biologi nyaris menangis karena mendapat
soal yang bahkan lebih susah daripada teman sekelas gue yang jenius dalam
pelajaran Biologi. Di hari pertama, dia memeluk gue dan berbisik “gue lulus nggak ya, Vir? Gue nggak sanggup
ngecewain Nyokap gue” Oh Tuhan, hati gue trenyuh ngedengernya.
Gue
nggak pernah khawatir akan lulus-nggaknya gue, karena orang tua gue selalu
menegaskan kalau “Sekolah itu tempat membentuk karakter bukan cuma mendapatkan
nilai”.
Tapi, bagi sebagian orang tingkat kepintaran seseorang diukur berdasar angka. Dan itulah yang membebani temen gue dan keluarganya. Temen gue takut dicap bodoh dan keluarganya dikucilkan hanya karena dia mendapat NEM yang rendah. Bagi sebagian penduduk Indonesia, makin tinggi nilai yang tertera di Ijazahmu, makin tinggi derajatmu di antara masyarakat.
Tapi, bagi sebagian orang tingkat kepintaran seseorang diukur berdasar angka. Dan itulah yang membebani temen gue dan keluarganya. Temen gue takut dicap bodoh dan keluarganya dikucilkan hanya karena dia mendapat NEM yang rendah. Bagi sebagian penduduk Indonesia, makin tinggi nilai yang tertera di Ijazahmu, makin tinggi derajatmu di antara masyarakat.
Mungkin
Menteri Pendidikan dan tim pembuat soal akan berdalih begini “soalnya kan dibuat dari materi SMA. Kalau
siswanya belajar, soal sesulit apapun nggak akan masalah”
Gue
rasanya mau ketawa kenceng-kenceng, katanya Ujian Nasional diadakan sebagai
patokan untuk mengevaluasi tingkat pendidikan siswa Indonesia. Ini yang mau di
evaluasi apanya? Hoki-hokian siswa mana yang dapet paket soal termudah?
Lalu,
tentang bobot soal yang katanya mirip dengan soal UNAS tahun lalu dan bobot
kesulitannya dinaikkan sedikit. Dengan rendah hati dan tanpa bermaksud sok
suci, gue mengatakan bahwa soal UNAS tahun ini amat sangat berbeda dengan tahun
lalu.
Sekolah
gue mengumpulkan soal UNAS dari 5tahun terakhir. Dan, guru-guru di sekolah gue
sendiri menyimpulkan bahwa soal ini jauh lebih sulit dan amat sangat berbeda
dari soal tahun lalu.
Diperparah dengan berita bahwa UNAS 2014 bertaraf Internasional. Halelluyah! Semoga Yesus melindungi kalian dari segala kutukan sumpah serapah para siswa, wahai Menteri Pendidikan dan tim penyusun soal. Kalian memang jenius, mengemukakan fakta ini setelah UNAS selesai agar tidak terjadi huru-hara sebelum UNAS di adakan. Agar para murid hanya bisa berharap mendapatkan yang terbaik sambil menahan marah. Jenius!
Diperparah dengan berita bahwa UNAS 2014 bertaraf Internasional. Halelluyah! Semoga Yesus melindungi kalian dari segala kutukan sumpah serapah para siswa, wahai Menteri Pendidikan dan tim penyusun soal. Kalian memang jenius, mengemukakan fakta ini setelah UNAS selesai agar tidak terjadi huru-hara sebelum UNAS di adakan. Agar para murid hanya bisa berharap mendapatkan yang terbaik sambil menahan marah. Jenius!
Sejujurnya,
gue marah akan hal ini. Lucu nggak sih kami dijejali soal bertaraf
Internasional ketika bahkan gue dan temen-temen sekolah gue aja bahkan masih
keok menghadapi soal bertaraf nasional? Lucu nggak sih kami dijejali soal
bertaraf Internasional ketika bahkan kualitas tiap sekolah di Indonesia aja
nggak sama. Jangankan punya gambaran tentang soal berstandar Internasional,
punya sarana prasarana yang memadai aja harus melalui proses yang susah payah.
MASALAH KEDUA. JOKI,
BOCORAN SOAL DAN KUNCI JAWABAN
Tiap
tahun, pemerintah selalu meningkatkan kesulitan soal dengan sedemikian rupa
agar tidak terjadi ‘kecurangan’. Tapi, nyatanya, ketika hari pelaksanaan ujian
nasional, selalu ada oknum yang menawarkan bocoran soal dan kunci jawabannya.
Okelah, kalau soal yang bocor cuma 50%. Tapi, tiap tahun selalu ada joki yang
bocorannya mencapai 90%.
Saat
gue SD, tipe UNAS (yang dulunya disebut UASBN) Cuma ada 1. Lalu, saat SMP,
berkembang menjadi 5. Sekarang, saat SMA, tipe UNAS malah beranak-pinak-cucu
hingga menjadi 20. Agaknya, pemerintah beranggapan kalau menambah paket soal
akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS berjalan mulus seperti kulit tanpa
bulu karena telah menggunakan Ve*t, bersih seperti pakaian yang dicuci dengan
Rin*o cair, atau murni seperti air yang telah diuji dilaboratorium I*B dan I*B
#plak #mintadigampar HAHAHA
Nyatanya,
peningkatan jumlah paket jumlah paket hanya membuat tarif para joki meningkat.
Bahkan, teman gue dari SMAN 02, SMAN 03, dan SMAN 06 (nama daerah dirahasiakan)
bercerita kalau mereka mendapatkan kunci bocoran untuk tiap soal disertai
dengan kalimat pertama dari no-no tertentu yang sejajar dengan kode paket.
Sehingga para siswa bisa mencocokkan yang mana soal yang sedang mereka
kerjakan.
Lah,
kok bisa? Biarlah joki tersebut, keluarganya yang metal-metal, serta
Tuhan yang tahu.
Hanya
dua hal di atas yang membebani pikiran gue hingga saat ini. Kadang gue mikir,
sebenernya sistem pendidikan seperti apa yang sedang diupayakan oleh
pemerintah? Sistem pendidikan dimana guru-guru dan para pendidik merasa cemas
dan terbebani dengan ‘persentase kelulusan sekolah’? Seakan-akan kalau nggak
mencapai akan 100%, maka sekolah tersebut dianggap jelek dan dijudge nggak
mampu menghasilkan bibit-bibit yang cerdas dan berbobot?
Kalau
begitu, kualitas pendidikan kita dinilai berdasarkan persentase banyaknya siswa
yang lulus? Bukan seberapa bermoralkah para generasi muda? Duh Gusti, pantes
konflik Negara ini selalu berkutat sama bobroknya moral dan pola pikir
masyarakat. Betapa berbanding terbaliknya karakter mereka dengan title dan
nilai Ijazah mereka yang gemilang.
Sekolah
gue, SMA Maria Mediatrix merupakan sekolah swasta Katholik. Bahkan Kepala
Sekolah kami merupakan seorang Biarawati. Dan karena itu, kepala sekolah gue
menutup akses yang memungkinkan terjadinya bocoran soal.
Semua
siswa disekolah gue mengerjakan UNAS dengan jujur (meskipun ada yang serius dan
ada yang nggak peduli mau lulus atau nggak). Semua temen-temen gue belajar
mati-matian. Fokus pada materi yang diajarkan guru, les sana-sini, mengumpulkan
soal dari berbagai sumber, dan berdoa dengan taat. Tapi, ketika ngeliat soal
yang nggak berkeperisiswaan, tekad mereka mulai goyah. Di hari pertama, mereka
lemas setelah mengerjakan Biologi. Esoknya, wajah mereka pucat setelah mereka
mengerjakan Matematika. Bahkan, teman baik gue muntah-muntah setelah mengerjakan
Kimia. Beruntung nggak ada yang jatuh pingsan.
Dan
yang mengejutkan, baru-baru ini, ada berita yang mengatakan bahwa “Pelajar SMA
Mengatakan bahwa Ujian Nasional Menyenangkan” dan gue jadi heran. Kakak gue
bahkan berkomentar sinis, “Dia lagi ngerjain soal apa clubbing?
Mungkin dia ngerjain soal sambil nonton bokep kartun kali”
Gue
sih bingung, apa sisi menyenangkannya. Mungkin dia yang terlalu jenius sehingga
UNAS nggak lebih dari permainan [LINE Pokopang]. Atau mungkin dia dapet bocoran
soal? Siapa tau dia pergi bertapa di Gunung Cirebon? Entahlah. Hanya dia,
keluarganya, dan Tuhan yang tau.
Oh,
dan ngomong-ngomong! Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya lupa nama
Bapak siapa, tapi maukah Bapak sekali-kali langsung survey ke sekolah di daerah
kami ketika hari pertama pelaksanaan UNAS diselenggarakan? Siapa tau Bapak
secara tidak sengaja menemukan sendiri titik-titik dimana joki
memperjualbelikan bocoran soal? Kalau Bapak mau, saya bahkan bersedia jadi
tour-guidenya. Terima kasih.
No comments:
Post a Comment