Wednesday, October 18, 2017

we were never fall in love.


I'M BACK!

Gue sekarang anak mahasiswa tingkat akhir, udah semester 7 coy. Doain lah ya biar gue lulus tepat waktu. (AMIN, YA TUHAN!). Well, jadi sebelum kalian nanya kenapa ini blog udah nggak pernah aktif lagi, gue udah kasih tau jawabannya.
Oh iya, sebenernya gue harusnya nggak ngepost dulu hari ini, soalnya besok gue ujian, meeen! Gue masih ada UTS besok. Gila ya gue HAHAHAHA

Tapi, gue jenuh sih belajar terus, ditambah lagi beberapa hari ini nyaris kebanyakan temen gue selalu mengatakan hal yang sama, seperti "Terserah lo deh ya, Vir. Capek kasih taunya" atau "Kayak nggak ada cowok lain aja deh", ketika mereka tau gue jalan atau misa bareng sama Toper.

Gue nggak bisa salahin mereka juga sih, secara Toper sama gue kan pernah jadian terus putus (iyalah ya) eh sekarang gue masih sering banget jalan sama dia. Cuma ya gimana? Menurut gue nggak ada yang salah dengan temenan sama mantan. Lebih lanjut adalah, karena gue emang udah nggak ada rasa. Ralat! Karena kami emang udah nggak ada rasa satu sama lain.

Ini, serius. Kalau gue masih ada rasa sama dia, gue malah nggak akan berani deket-deket sama dia. Karena rasanya pasti sakit kan?

Dan hal ini juga berlaku ke Toper. Gue pernah -sering malah- ngobrol sambil menatap matanya ((asli ini geli banget nulisnya)), dan ya gue nggak pernah nemuin tatapan yang sama kayak yang dulu dia perlihatkan ke gue.

Jadi, kami berdua emang udah nggak ada rasa lagi satu sama lain. Rasa gugup itu, debaran jantung itu, semua kupu-kupu yang terbang dan lumba-lumba yang berlompatan di perut itu udah nggak ada lagi.

Well, temen gue pernah nanya sih. "Kok bisa lo biasa aja sama orang yang pernah ngebuat lo tersesat di matanya?"

Mungkin, jawabannya adalah karena sebenarnya kita nggak pernah (benar-benar) jatuh cinta satu sama lain. Mungkin, gue dan dia sama-sama terjebak ilusi yang ngebuat kami percaya kalau kami jatuh cinta, padahal kenyataannya nggak. Mungkin, gue menganggap kalau hati gue yang berdebar saat itu adalah tanda jatuh cinta. Whereas the fluttering heart doesnt always mean you are in love.
My sister ever said this to me. "Maybe you just love the idea of being with him?"
Dan mungkin iya, kami berdua memang nggak pernah jatuh cinta satu sama lain. Kami hanya terjebak ilusi yang membuat kami beranggapan kalau kami jatuh cinta. Atau mungkin, kami hanya jatuh cinta pada ide tentang "kita"

P.S: Gue nggak lagi galau. Jadi tolong buat Acha, Sofie, Chelsea, Dhie dan yang lainnya stop ya marah-marah kalau tau gue jalan sama Toper. Because no, we will never ever ever ever getting back together. Ah, jadi pengen nyanyi lagunya mbak Taylor Swift.

Tuesday, October 3, 2017

Papa

Pagi ini, gue bangun dengan suasana hati yang kacau. Entah kenapa, gue mendadak kangen Papa. Well, Papa gue nggak gimana-gimana sih. Papa gue bukan orang super jenius atau orang super ganteng atau orang super kaya.

Papa adalah sosok yang bisa-bisanya bilang "siapa yg berani-berani gangguin Mbak Vira. Nanti biar Papa pukul dia" saat ngebunuh kecoa yang buat gue ketakutan ketika gue masih 3 tahun. Ini serius, waktu itu gue inget banget, gue lagi ketakutan sampai jerit-jerit, dan dia nangkep kecoa sambil bilang gitu. Simple sih, lucu malah, cuma darisana gue sadar kalau Papa nggak akan biarin siapapun ngegangguin gue atau bahkan nyakitin gue. Papa bakal pasang badan jadi tameng gue agar gue aman.

Papa adalah sosok yang bilang "yaudah nggak usah nikah, disini aja sama papa mama" hanya karena dia nggak suka ide tentang gue menikah dengan orang lain dan pergi meninggalkan dia. Waktu itu gue iseng, gue nanya ke Mama, 'seandainya gue nggak nikah gimana?', Mama gue nasihatin gue untuk nggak usah ngomong macem-macem, sementara Papa gue tau-tau ngomong gitu. Bahkan, setiap gue ngenalin temen cowok gue ke Papa, Beliau bakalan pasang muka super jutek dan super judes. He really loves me that much.

Papa adalah sosok yang nyuruh Mama nelponin gue nyaris setiap jam setelah gue melangkahkan kaki gue keluar rumah untuk jalan-jalan, "udah sampai belum?" "udah makan belum?" "nonton apa jadinya?" "udah selesai nonton belum?" "bilangin jangan lupa makan" "kapan pulang? naik apa?" "udah di jalan?" "mau dijemput nggak?" sampai Mama kesel dan berniat pasang alat pelacak di badan gue. Kadang kesel juga sih, lagi jalan kok digangguin, tapi sekarang ini gue sadar, gue kangen dikhawatirin sampai segitunya. Gue sadar kalau ternyata gue sepenting itu di hidup Papa.

Papa adalah sosok yang susah banget diajak foto tapi selalu minta foto anak-anaknya nyaris dimanapun dan kapanpun "Coba foto. Papa mau liat", katanya. Padahal muka gue nggak akan berubah dalam waktu tujuh hari. Karena ini juga, gue jadi punya kebiasaan kirim foto selfie ke Mama, karena Papa nggak punya handphone.

Papa adalah sosok yang bilang "kamu nggak perlu jadi perfect, kamu cuma perlu jadi anak Papa". Again, he really loves me that much. Nggak peduli gue segemuk apa, sekurus apa, sejelek apa, secantik apa, sebodoh apa, sepinter apa. Di mata Papa, gue tetep anaknya. Dan dia nggak minta gue untuk jadi orang lain. Cukup jadi anaknya.

Papa adalah sosok yang menjadi jawaban atas pertanyaan "Siapa laki-laki yang menjadi cinta pertama kamu?". Saat kecil, gue selalu menjadikan Papa sebagai patokan "tipe ideal cowok". Oke, gue akuin sekarang ada beberapa sifat Papa yang nggak gue suka, tapi ini nggak merubah fakta kalau saat kecil, gue mau cari pacar yang kayak Papa. Yang bisa ngelindungin gue, yang bisa ngehibur gue, yang bisa meluk gue disaat gue takut atau sedih, yang bisa negur gue kalau salah, yang bisa membimbing gue, yang nerima gue apa-adanya, yang ngebuat gue ngerasa kalau keadaan gue bukan merupakan kesalahan.

He did that. No, he still does. Mungkin, sekarang, karena gue juga udah tumbuh jadi cewek berkepala batu dan berego tinggi serta bertempramen buruk, ditambah gue sering berantem dan berdebat sama Papa, sosok Papa jadi nggak seflawless dulu. Tapi, gue yakin di mata Papa, keberadaan gue bukan kesalahan. I'm still his little princess, still his pride, still his everything.

Dan ya, gue lagi kangen sama Papa.