Monday, April 21, 2014

paradigma UNAS



Sejak gue berusia 7 tahun, gue udah sadar kalau gue punya tingkat sarkasme diatas rata-rata teman gue yang lain. Sejak kelas 2 SD, guru gue selalu mengajarkan bahwa “Mencontek saat ulangan adalah perbuatan yang tercela”. Tapi, gue yang saat itu ndableg malah protes dan bilang gini ke wali kelas gue, Bu Tres “Orang kan nyontek karena ada alasannya. Mereka terpaksa”. Endingnya? Gue di ketawain sama temen-temen sekelas, dan gue di omelin guru.

Kalau gue pikir-pikir sekarang, gue rasanya ketawa sendiri mengingat betapa jeniusnya gue saat itu. Gue sendiri heran, kenapa gue tiba-tiba inget kejadian bersejarah itu. Mungkin ini bukan kebetulan. Barangkali ini bukan kebetulan otak gue memutar memori itu disaat gue mengingat tentang penyelenggaraan UNAS kemarin. Barangkali, gue harusnya mengadukan hal ini ke Bu Tres. Karena apa yang akan gue utarakan disini adalah realisasi dari ucapan nyeleneh gue saat itu.


Selama 3 hari kemarin, rasanya gue ditampar bolak-balik sama kenyataan penyelenggaran UNAS.
Selama ini, tiap kali UNAS digelar, seluruh elemen masyarakat tertarik ke dalam topik perbincangan ini. Perdebatan tentang perlu-tidaknya UNAS diselenggarakan nggak pernah absen dari obrolan ringan dan bahkan liputan berita di media massa. Jangan lupakan tentang kecurangan dan bocoran soal.

Dari tahun ke tahun, selalu ada laporan tentang kecurangan UNAS, bahkan bocoran soal dan kunci jawaban. Tapi, tragisnya pemerintah tetap pasang senyum dan berkomentar tentang “tahun ini persentase kelulusan siswa meningkat dari tahun sebelumnya”, “rata-rata nasional tahun ini mengalami kemajuan”, dan segala komat-kamit yang gue nggak pernah paham apa maksudnya.

Dari banyaknya jumlah angka-angka yang disebutkan oleh pemerintah tentang persentase kelulusan, rata-rata tahun ini, SKL yang sama, seharusnya pemerintah menyelipkan tentang “penyetaraan soal dan jumlah kasus kebocoran soal ujian”

Jujur, gue kecewa dengan dua hal ini.

MASALAH PERTAMA. PENYETARAAN DAN BOBOT SOAL
Tahun ini, angkatan 2013/2014 memiliki 4 paket soal dengan masing-masing 5 variasi soal di tiap paketnya. Yang artinya sih sama aja, nggak ada satu pun soal yang sama ditiap kelas. Atau mari katakanlah, sebenernya ini sama aja kami mendapatkan 20 paket.

Dan balik lagi tentang variasi soal. Gue masih bisa terima tentang variasi soal, tapi yang gue permasalahkan ini adalah penyetaraan tingkat kesulitan. Tebak kenapa gue marah. HAHAHA bener banget! Karena tahun ini, tingkat kesulitan soal tidaklah setara. Guru gue sendiri yang bilang begitu. Ini jelas nggak adil.
Sebab, temen gue yang lemah dalam pelajaran Biologi nyaris menangis karena mendapat soal yang bahkan lebih susah daripada teman sekelas gue yang jenius dalam pelajaran Biologi. Di hari pertama, dia memeluk gue dan berbisik “gue lulus nggak ya, Vir? Gue nggak sanggup ngecewain Nyokap gue” Oh Tuhan, hati gue trenyuh ngedengernya.
Gue nggak pernah khawatir akan lulus-nggaknya gue, karena orang tua gue selalu menegaskan kalau “Sekolah itu tempat membentuk karakter bukan cuma mendapatkan nilai”.
Tapi, bagi sebagian orang tingkat kepintaran seseorang diukur berdasar angka. Dan itulah yang membebani temen gue dan keluarganya. Temen gue takut dicap bodoh dan keluarganya dikucilkan hanya karena dia mendapat NEM yang rendah. Bagi sebagian penduduk Indonesia, makin tinggi nilai yang tertera di Ijazahmu, makin tinggi derajatmu di antara masyarakat.

Mungkin Menteri Pendidikan dan tim pembuat soal akan berdalih begini “soalnya kan dibuat dari materi SMA. Kalau siswanya belajar, soal sesulit apapun nggak akan masalah”
Gue rasanya mau ketawa kenceng-kenceng, katanya Ujian Nasional diadakan sebagai patokan untuk mengevaluasi tingkat pendidikan siswa Indonesia. Ini yang mau di evaluasi apanya? Hoki-hokian siswa mana yang dapet paket soal termudah?
Lalu, tentang bobot soal yang katanya mirip dengan soal UNAS tahun lalu dan bobot kesulitannya dinaikkan sedikit. Dengan rendah hati dan tanpa bermaksud sok suci, gue mengatakan bahwa soal UNAS tahun ini amat sangat berbeda dengan tahun lalu.
Sekolah gue mengumpulkan soal UNAS dari 5tahun terakhir. Dan, guru-guru di sekolah gue sendiri menyimpulkan bahwa soal ini jauh lebih sulit dan amat sangat berbeda dari soal tahun lalu.
Diperparah dengan berita bahwa UNAS 2014 bertaraf Internasional. Halelluyah! Semoga Yesus melindungi kalian dari segala kutukan sumpah serapah para siswa, wahai Menteri Pendidikan dan tim penyusun soal. Kalian memang jenius, mengemukakan fakta ini setelah UNAS selesai agar tidak terjadi huru-hara sebelum UNAS di adakan. Agar para murid hanya bisa berharap mendapatkan yang terbaik sambil menahan marah. Jenius!

Sejujurnya, gue marah akan hal ini. Lucu nggak sih kami dijejali soal bertaraf Internasional ketika bahkan gue dan temen-temen sekolah gue aja bahkan masih keok menghadapi soal bertaraf nasional? Lucu nggak sih kami dijejali soal bertaraf Internasional ketika bahkan kualitas tiap sekolah di Indonesia aja nggak sama. Jangankan punya gambaran tentang soal berstandar Internasional, punya sarana prasarana yang memadai aja harus melalui proses yang susah payah.

MASALAH KEDUA. JOKI, BOCORAN SOAL DAN KUNCI JAWABAN

Tiap tahun, pemerintah selalu meningkatkan kesulitan soal dengan sedemikian rupa agar tidak terjadi ‘kecurangan’. Tapi, nyatanya, ketika hari pelaksanaan ujian nasional, selalu ada oknum yang menawarkan bocoran soal dan kunci jawabannya. Okelah, kalau soal yang bocor cuma 50%. Tapi, tiap tahun selalu ada joki yang bocorannya mencapai 90%.

Saat gue SD, tipe UNAS (yang dulunya disebut UASBN) Cuma ada 1. Lalu, saat SMP, berkembang menjadi 5. Sekarang, saat SMA, tipe UNAS malah beranak-pinak-cucu hingga menjadi 20. Agaknya, pemerintah beranggapan kalau menambah paket soal akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS berjalan mulus seperti kulit tanpa bulu karena telah menggunakan Ve*t, bersih seperti pakaian yang dicuci dengan Rin*o cair, atau murni seperti air yang telah diuji dilaboratorium I*B dan I*B #plak #mintadigampar HAHAHA

Nyatanya, peningkatan jumlah paket jumlah paket hanya membuat tarif para joki meningkat. Bahkan, teman gue dari SMAN 02, SMAN 03, dan SMAN 06 (nama daerah dirahasiakan) bercerita kalau mereka mendapatkan kunci bocoran untuk tiap soal disertai dengan kalimat pertama dari no-no tertentu yang sejajar dengan kode paket. Sehingga para siswa bisa mencocokkan yang mana soal yang sedang mereka kerjakan.
Lah, kok bisa? Biarlah joki tersebut, keluarganya yang metal-metal, serta Tuhan yang tahu.

Hanya dua hal di atas yang membebani pikiran gue hingga saat ini. Kadang gue mikir, sebenernya sistem pendidikan seperti apa yang sedang diupayakan oleh pemerintah? Sistem pendidikan dimana guru-guru dan para pendidik merasa cemas dan terbebani dengan ‘persentase kelulusan sekolah’? Seakan-akan kalau nggak mencapai akan 100%, maka sekolah tersebut dianggap jelek dan dijudge nggak mampu menghasilkan bibit-bibit yang cerdas dan berbobot?
Kalau begitu, kualitas pendidikan kita dinilai berdasarkan persentase banyaknya siswa yang lulus? Bukan seberapa bermoralkah para generasi muda? Duh Gusti, pantes konflik Negara ini selalu berkutat sama bobroknya moral dan pola pikir masyarakat. Betapa berbanding terbaliknya karakter mereka dengan title dan nilai Ijazah mereka yang gemilang.

Sekolah gue, SMA Maria Mediatrix merupakan sekolah swasta Katholik. Bahkan Kepala Sekolah kami merupakan seorang Biarawati. Dan karena itu, kepala sekolah gue menutup akses yang memungkinkan terjadinya bocoran soal.
Semua siswa disekolah gue mengerjakan UNAS dengan jujur (meskipun ada yang serius dan ada yang nggak peduli mau lulus atau nggak). Semua temen-temen gue belajar mati-matian. Fokus pada materi yang diajarkan guru, les sana-sini, mengumpulkan soal dari berbagai sumber, dan berdoa dengan taat. Tapi, ketika ngeliat soal yang nggak berkeperisiswaan, tekad mereka mulai goyah. Di hari pertama, mereka lemas setelah mengerjakan Biologi. Esoknya, wajah mereka pucat setelah mereka mengerjakan Matematika. Bahkan, teman baik gue muntah-muntah setelah mengerjakan Kimia. Beruntung nggak ada yang jatuh pingsan.

Dan yang mengejutkan, baru-baru ini, ada berita yang mengatakan bahwa “Pelajar SMA Mengatakan bahwa Ujian Nasional Menyenangkan” dan gue jadi heran. Kakak gue bahkan berkomentar sinis, “Dia lagi ngerjain soal apa clubbing? Mungkin dia ngerjain soal sambil nonton bokep kartun kali”
Gue sih bingung, apa sisi menyenangkannya. Mungkin dia yang terlalu jenius sehingga UNAS nggak lebih dari permainan [LINE Pokopang]. Atau mungkin dia dapet bocoran soal? Siapa tau dia pergi bertapa di Gunung Cirebon? Entahlah. Hanya dia, keluarganya, dan Tuhan yang tau.

Oh, dan ngomong-ngomong! Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya lupa nama Bapak siapa, tapi maukah Bapak sekali-kali langsung survey ke sekolah di daerah kami ketika hari pertama pelaksanaan UNAS diselenggarakan? Siapa tau Bapak secara tidak sengaja menemukan sendiri titik-titik dimana joki memperjualbelikan bocoran soal? Kalau Bapak mau, saya bahkan bersedia jadi tour-guidenya. Terima kasih.